ANALISIS KEBIJAKAN KEBIJAKAN SKB 3 MENTRI DI MADRASAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah Analisis Kebijakan Publik
Dosen
pengampu Dr. H. Amin Haedari,
M.Pd.,
Disusun
oleh
Anisa
Nurhuda Utami
2019.8.1.4.0056
Kelas
C
PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
A.
Analisis Kebijakan SKB 3 Mentri:
Dikbud, Depag dan Dep dagri tahun 1975 tentang madrasah
Dalam
dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya,
namun di awal-awal tahun 1970-an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya
untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini
terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu
kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972 tentang "Tanggung
Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan". Selanjutnya Keppres ini
dipertegas oleh Inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dengan
Keppres dan Inpres ini, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya
berada di bawah tanggung jawab Mendikbud. Secara implisit ketentuan ini
mengharuskan diserahkannya penyelengaraan pendidikan madrasah yang sudah
menggunakan kurikulum nasional kepada Depdikbud.
Kebijakan
yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam ini menimbulkan respons dan
kegelisahan tokoh-tokoh Islam dan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang
pendidikan, karena kebijakan ini akan menghilangkan wewenang Menteri Agama di
bidang pendidikan. Respons itu ditunjukan antara lain oleh MP3Ayang berpendapat
bahwa yang paling tepat untuk diserahi tanggungjawab dalam penyelenggaran
pendidikan madrasah adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu
konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri yang lain.
Munculnya reaksi dari umat
Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah mengambil
kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan
pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu
pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan
berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri
Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr.
Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir
Machmud).
Melihat
aspirasi umat Islam yang keberatan atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,
maka pemerintah pun secara aktif menyikapi tuntutan umat Islam tersebut,
sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas yang
salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri
(Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri)
yang dikenal dengan "SKB 3 Menteri" tahun 1975 tentang
"Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah".
Madrasah SKB
Tiga Menteri
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB)
Tiga Menteri tahun 1975, Bab I Pasal I, menyebutkan : “Yang dimaksud dengan
madrasah dalam Keputusan Bersama ini ialah : Lembaga pendidikan yang menjadikan
mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%,
di samping mata pelajaran umum.”
Berdasarkan diktum di atas, baik
Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 7
Tahun 1950 maupun SKB Tiga Menteri 1975, dapat dipahami bahwa madrasah adalah
lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata
pelajaran pokok atau dasar di samping itu juga diajarkan mata pelajaran umum.
Sistem dan isi madrasah diupayakan adanya penggabungan antara sistem pesantren
dengan sekolah umum. Penyusunan Ensiklopedia Indonesia, pada pasal yang
membicarakan madrasah, memandang madrasah sebagai perpaduan antara pendidikan
sistem pondok yang khusus mengajarkan agama Islam dengan sistem pendidikan yang
mengajarkan ilmu pengetahuan umum.
Sejak lahirnya sistemmadrasah di
Indonesia, telah memiliki ciri khas yang membedakannya dari pesantren dan
sekolah umum,yaitu upaya untuk mengonvergensikan antara mata pelajaran umum
dengan mata pelajaran agama. Dalam usaha memadukan itu tidak dapat kesamaan
antara satu madrasah satu dengan madrasah lainnya, seperti yang diungkapkan
terdahulu.
Walaupun terdapat keanekaragaman
dalam upaya menggabungkan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran
umum, namun madrasah tetapsebagai lembaga pendidikan Islam yang menjadikan mata
pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok atau dasar. Pengertian mata
pelajaran pokok atau dasar, adalah mata pelajaran yang menentukan dalam memberi
penilaian terhadap status seorang siswa baik pada waktu penentuan naik kelas
atau penentuan ujian akhir. Struktur program kurikulum Madrasah Aliyah tahun
1984, pendidikan agama terdiri dari mata pelajaran :
a.
Alquran Hadis
b.
Akidah Akhlak
c.
Fikih
d.
Sejarah dan Peradaban
Islam
e.
Bahasa Arab,
semua mata pelajaran ini dianalogikan kepada program inti.
Makna dari program inti adalah jenis
program yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan pendidikan pada Madrasah Aliyah,
yakni mendidik siswa menjadi manusia pembangunan seutuhnya yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara Indonesia yang berpedoman pada
Pancasila, dan sekaligus merupakan perwujudan upaya untuk menempatkan siswa
pada suasana kebersamaan. Program ini merupakan program pendidikan yang wajib diikuti
oleh semua siswa dengan mengacu pada kepentingan pencapaian tujuan pendidikan
nasional, kepentingan agama, tujuan masyarakat, serta penguasaan pengetahuan
bagi semua siswa.
Ditijnjau dari segi historis dapat
dilihat bahwa madrasah telah mengalami perubahan-perubahan. Pada tahap awal
madrasah semata-mata mengajarkan mata pelajaran agama, kemudian sesuai dengan
tuntutan zaman madrasah memasukkan mata pelajaran umum. Pada tahap ini mata
pelajaran umum bagi kebanyakan madrasah hanya sebagai pelengkap saja.
Perkembangan berikutnya denga keluarnya SKB Tiga Menteri tahun 1975, pada fase
ini mata pelajaran umum pada madrasah lebih dominan sekitar 70%, walaupun
demikian kedudukan mata pelajaran agama tetap memegang peranan yang amat
penting seperti yang tertera dalam kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1984, menyatakan bahwa mata pelajaran
agama dikelompokkan sebagai program ini.
Perubahan yang cukup drastis di
lapangan pendidikan Islam adalah ketika diberlakukannya SKB Tiga Menteri tahun
1975. Inti dari perubahan itu adalah adanya pembaruan dan pemberdayaan
madrasah.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga
Menteri tersebut, maka madrasah memasuki era baru, yakni era kesetaraan dan
kesederajatan antara madrasah dengan sekolah.Madrasah SKB Tiga Menteri adalah
hasil kesepakatan tiga Departemen, yaitu Departemen DalamNegeri, Departemen
Agama, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hakikatnya adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan di madrasah. Hasil dari peningkatan civil
effect ijazah madrasah sama dengan ijazah sekolah umum, seperti tertera
dalam Bab II Pasal 2 SKB Tiga Menteri yang telah dituliskan terdahulu. Hakikat
SKB Tiga Menteri adalah :
1.
Ijazah madrasah
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah lebih umum yang setingkat.
2.
Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat atas.
3.
Siswa madrasah
dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Sebelum lahirnya SKB Tiga Menteri
tahun 1975 kita melihat adanya perbedaan yang mendasar antara lulusan madrasah
dengan sekolah umum. Perbedaan yang mendasar itu terlihat nyata sekali di dalam
dua hal, yaitu :
Pertama, di dalam kesempatan untuk melanjutkan
studi. Dalam hal ini, lulusan madrasah tidak memiliki kesempatan untuk memasuki
universitas negeri, mereka hanya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi agama
seperti IAIN atau perguruan tinggi agama swasta. Setelah adanya SKB Tiga
Menteri, maka lulusan madrasah telah memiliki kesempakatan untuk memasuki
universitas umum negeri. Bagi yang memiliki ijazah Madrasah Aliyah yang
tergabung dalam kelompok ilmu-ilmu Fisika dan ilmu-ilmu Biologi dapat
melanjutkan ke Fakultas Kedokteran, Pertanian, Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti
Alam, dan sebagainya. Sedangkan yang memiliki ijazah Madrasah Aliyah kelompok
Studi ilmu-ilmu Sosial dan Pengetahuan Budaya dapat melanjutkan studinya ke
Fakultas Hukum, Filsafat, Bahasa, Sastra,Ilmu Ekonomi, Politik, dan sebagainya.
Kesempatan melanjutkan studi adalah
salah satu bagian dan pemerataan pendidikan
Josep D. Farrell mengemukakan, bahwa di negara-negara berkembang satu
problema yang dihadapi dalam pendidikan ini adalah pemerataan kesempakatan
melanjutkan pendidikan. Banyak anak-anak di negara berkembang tidak bisa
melanjtkan pendidikan ke lembaga yang lebih tinggi bahkan banyak pula yang drop
out. (Josep, 1982 : 45-46).
Perbedaan kedua adalah dari segi
kesempatan kerja. Sebelum lahirnya SKB Tiga Menteri kesempatan untuk menjadi
pegawai negeri maupun swasta, bagi alumnus madrasah hanya terbatas
dalamlingkungan Departemen Agama atau lembaga-lembaga keagamaan saja. Tetapi
dengan SKB Tiga Menteri ini kesempatan itu lebih luas.
Dari sisi lain dapat juga dilihat
bahwa SKB Tiga Menteri itu adalah upaya untuk menimbun jurang pemisah antara
lulusan madrasah dengan sekolah umum. Upaya menimbun jurang itu amat diperlukan
dalam rangka untuk menghilangkan dua pola pikir generasi Indonesia masa
mendatang.Bila direnungkan lebih mendalam lagi, makapada hakikatnya madrasah
SKB Tiga Menteri itu tiada lain adalah Sekolah Umum Plus. Pada tingkat Sekolah
Dasar yaitu Ibtidaiyah, sama dengan SD Plus, di tingkat SLTP, yaitu Tsanawiyah
sama dengan SMP Plus dan tingkat SLTA, yaitu Madrasah Aliyah sama dengan SMA
Plus. Plusnya di sini adalah mata pelajaran agama dan bahasa Arab yang tidak
mungkin mereka peroleh apabila mereka memasuki sekolah umum.
Sebenarnya bila kita menukikkan pandangan
lebih mendalam tentang konsep pendidikan dalam Islam baik yang bersumber dari
ajaran dasar yakni Alquran maupun Hadis begitu juga praktik yang dilakukan oleh
umat Islam tidak memisahkan antara ilmu diniah (agama) dengan ilmu umum. Bahkan
dia bisaditeliti secara cermat Islam tidak mengenal pembagian ilmu tersebut
dengan peristilahan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab apa yang kita sebut dengan
ilmu umum misalnya, kelompok-kelompok ilmu-ilmu kealaman (Natural Science) dan
kelompok-kelompok ilmu sosial (Sosial Science), adalah kelompok-kelompok ilmu
yang dianjurkan bahkan ada yang sampai kepada tingkat wajib sekurang-kurangnya
wajib kifayah untuk dipelajari.
Keserasian SKB Tiga Menteri dengan konsep
pendidikan Islam adalah dari segi pengembangan ilmu yang tidak hanya terbatas
pada ilmu-ilmu agama saja akan tetapi mencakup berbagai ilmu pengetahuan yang
sangat berguna bagi manusia untuk menjadi khalifah Allah di permukaan bumi. SKB
Tiga Menteri ini berusaha untuk menghilangkan dikotomi yang terasa selama ini.
Sehingga dengan demikian diharapkan akan tumbuh pandangan yang utuh terhadap
ajaran Islam. Dari segi teknis operasional SKB Tiga Menteri ini bukanlah tanpa
problem. Ada sejumlah problema-problema mendasar ditinjau dari pelaksanaan yang
apabila tidak diatasi akan membuahkan hasil yang memuaskan. Problema-problema
tersebut meliputi : tenaga pengajar, sarana dan fasilitas, waktu/jam pelajaran
dan dana.
Dikotomi ilmu dalam studi Islam terkait erat
dengan pembagian kelompok ilmu Islam dalam pengertian ilmu agama yang
dilawankan dengan kelompok ilmu non-Islam atau ilmu umum ini berimbas pada
kemunculan dikotomi kelembagaan dalam pendidikan Islam. Akibatnya, muncul pula
istilah sekolah-sekolah agama dan sekolah-sekolah umum. Sekolah agama berbasis
ilmu-ilmu “Agama” dan sekolah umum berbasis ilmu-ilmu “Umum”.
Kemunculan dikotomi sekolah umum pada satu
sisi dan sekolah madrasah yang merupakan perwakilan sekolah agama pada sisi
lain merupakan wujud konkret dikotomi dalam pendidikan Islam. Kondisi ini lebih
parah dengan dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975
yang telah mepersamakan kedudukan sekolah umum dengan madrasah yang statusnya
masih sebagai sekolah agama.
Pengintegrasian ini menimbulkan kesalahpahaman
dalam dunia pendidikan. Pendidikan Islam yang bersifat umum disamakan dengan
pendidikan agama Islam dalam arti khusus. Akibatnya, penunggalan dalam
“Pendidikan Islam” makin rancu pada penggunaan istilah bagi semua jenis,
jenjang, model, dan bidang studi. Pendidikan Islam yang lebih tepat bagi
sebutan institusi yang mandiri sering dipakai bergantian pendidikan agama Islam
sebagai bagian dari sebuah institusi. Pendidikan agama Islam yang lebih tepat
bagi sekolah umumdisebut pula dengan pendidikan Islam, atau sebaliknya, tanpa penjelasan
konseptual. Sekolah Islam, madrasah, dan pesantren yang tepat disebut
pendidikan Islam acap disebut pendidikan agama Islam, atau sebaliknya. Di
sekolah ini pun masih terdapat pembelajaran pendidikan agama Islam.
Perubahan yang cukup drastis di lapangan
pendidikan Islam adalah ketika diberlakukannya SKB Tiga Menteri (Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri) – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Agama, dan Menteri dalam Negeri tahun 1975. Inti dari perubahan itu adalah
adanya pembaharuan dan pemberdayaan madrasah. Diadakanlah perubahan yang
drastis dalamkurikulum madrasah SKB Tiga Menteri, yakni 70 % pengetahuan umum
dan 30% pengetahuan agama. Dengan diberlakukannya kurikulum yang seperti itu
maka madrasah disetarakan dengan sekolah umum. Madrasah Ibtidaiyah setara
dengan SD, Madrasah Tsanawiyah setara dengan SMP, dan Madrasah Aliyah setara
dengan SMA.
Selanjutnya dengan diberlakukannya UU No. 2
tahun 1989 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka madrsah
secara eksplisit dinyatakan sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam.
Pemaknaannya adalah di madrasah diprogramkan seluruh apa yang diprogramkan di
sekolah umum dan ditambah dengan mata pelajaran agama dan suasana keberagamaan.
Dengan demikian pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, lembaga-lembaga
pendidikan Islam sejak tahun 1975 dan diperkuat lagi sejak diberlakukannya UU
No. 2 tahun 1989 serta PP No. 28 dan 29 tahun 1990 serta UU No. 20 tahun 2003
adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu agaman dan umum.
Pada tanggal 18 April tahun 1972,
presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang
Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Dua tahun berikutnya, Keppres
itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur
realisasinya. Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam,
termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS
No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak
dalam pencapaian tujuan Nasional.
Kritis identitas ini dimulai dengan
ditetapkannya Program Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada permulaan tahun enam
puluhan, kemudian dilanjutnya dengan
lahirnya MTsAIN dan MAAIN akhir tahun enam puluhan. Selanjutnya pada tanggal 24
Maret 1975 terjadi perubahan yang mendasar. Melalui SKB Tiga Menteri dan
kebijakan-kebijakan yang menyertainya sekarang sekolah-sekolah agam yang
melaksanakan kurikulum Kementerian Agama diperlakukan sama seperti
sekolah-sekolah umum pada jajaran yang sama. Mereka juga bisa saling pindah dan
saling lanjut.
Dikala baru terbitnya SKB Tiga
Menteri tersebut pernah tercatat adanya reaksi masyarakat yang menganggap
sebagai “pendangkalan agama” di madrasah, tetapi kemudian suara tersebut
tenggelam ditelan masa, dan akhirnya yang terjadi reaksi positif. Berdasarkan
evaluasi Departemen Agama RI tahun 1979 ternyata SKB Tiga Menteri ini pada
umumnya disambut dengan positif oleh para ahli pendidikan, guru-guru, ulama dan
masyarakat pada umumnya. Evaluasi sementara madrasah yang mengikuti jiwa SKB
ini hasilnya cukup menggembirakan. Di beberapa daerah siswa lulusan Ibtidaiyah
telah dapat diterima di SMP Negeri, siswa lulusan Tsanawiyahditerima di
SLANegeri dan lulusan Aliyah diterima di berbagai Fakultas seperti keguruan, hukum, sosial
ekonomi, sastra dan sebagainya, kecuali fakultas eksakta.
Nampaknya pemerintah belum puas dengan SKB 3
Menteri ini. Intervensi pemerintah terhadap pesantren dan madrasah sifatnya
murni edukatif dan kultural,di mana dengan adanya dikotomi pendidikan dengan
dua corak sistem yang berbeda itu dianggap tidak efisien dan efektif. Yang
terjadi adalah tumpang tindih duplikasi pemborosan energi dan biaya. Pendidikan
Islam harus berada di bawah naungan Pendidikan Nasional.
Implikasi SKB Tiga Menteri
1.
Aspek Lembaga
Madrasah yang
dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka
peluang bagi kemungkinan siswa siswi madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada
sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih
mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang
pengelolaanya dibawah naungan Kementerian Agama. Dan secara tidak langsung hal
ini telah memperkuat dan memperkokoh posisi Kemenag dalam struktur
pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
2.
Aspek Kurikulum
Karena diakui
sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama
dengan sekolah. Efeknya adalah bertambahnya beban yangharus dipikul oleh
madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf
dengan standar yang berlaku di sekolah, dilain pihak bagaimanapun juga madrasah
harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
3.
Aspek Siswa
Dalam SKB Tiga
Menteri ditetapkan bahwa: 1) ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan
ijazah sekolah umum yang setingkat dan 2) Siswa madrasah dapat berpindah ke
sekolah umum yang setingkat Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum.
4.
Aspek
Masyarakat
SKB 3 Menteri
telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh
mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas
dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena
madrasah adalah wujud real dari partisipasi masyarakat yang peduli pada nasib
pendidikan anak bangsanya. Tren pengelolaan pendidikan yang semakin
menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya
akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai
ketergantungan. Dengan kembali pada khittah madrasah sebagai lembaga
pendidikan berbasis masyarakat, maka hanya tinggal satu tahap yakni
memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
B.
Kelebihan dan Kekurangannya terhadap
Madrasah
1.
Dampak
Positif
a.
Lulusan/tamatan SD bisa meneruskan ke
MTS dan lulusan/tamatan MI bisa meneruskan ke SMP.
b.
Lulusan/tamatan MTs bisa meneruskan ke
SMA/SMK dan meneruskan sekolah SMP bisa bisa meneruskan ke MA.
c.
Tamatan MA bisa bisa meneruskan ke
Universitas Umum dan tamatan SMA/SMK bisa bisa meneruskan ke IAIN/STAIN.
d.
Dari SD bisa pindah sekolah ke MI dan
sebaliknya. Dari MTs bisa pindah sekolah ke SMP dan sebaliknya. Dari SMA/SMK
bisa pindah sekolah ke MA dan bisa melamar ke Instansi Pemerintah baik DEPAG
maupun Instansi Umum lainnya.
2.
Dampak Negatif
a.
Kurangnya
motivasi dari Madrasah dan Pesantren mendalami pendidikan agama, karena
biasanya sudah dipengaruhi oleh bidang studi yang di Ujian Nasional-kan.
b.
IAIN
sudah sedikit waktu untuk mendapatkan input penguasaan kitab
kuning.
c.
Belum
semua Madrasah memiliki gedung/lokal sendiri (masih menumpang) Belum semua
Madrasah memiliki guru bidang studi (umum).
d.
Guru
madrasah masih sangat kurang dibandingkan sekolah umum (30% dari kebutuhan yang
sebenarnya.