Senin, 30 Maret 2020

Analisis Kebijakan SKB 3 Mentri Di Madrasah




ANALISIS KEBIJAKAN KEBIJAKAN SKB 3 MENTRI DI MADRASAH


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah Analisis Kebijakan Publik
Dosen pengampu Dr. H. Amin Haedari, M.Pd.,







Disusun oleh
Anisa Nurhuda Utami
2019.8.1.4.0056
Kelas C



PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


A.      Analisis Kebijakan SKB 3 Mentri: Dikbud, Depag dan Dep dagri tahun 1975 tentang madrasah
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972 tentang "Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan". Selanjutnya Keppres ini dipertegas oleh Inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dengan Keppres dan Inpres ini, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Mendikbud. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelengaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Depdikbud.
Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam ini menimbulkan respons dan kegelisahan tokoh-tokoh Islam dan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, karena kebijakan ini akan menghilangkan wewenang Menteri Agama di bidang pendidikan. Respons itu ditunjukan antara lain oleh MP3Ayang berpendapat bahwa yang paling tepat untuk diserahi tanggungjawab dalam penyelenggaran pendidikan madrasah adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri yang lain.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud). 
Melihat aspirasi umat Islam yang keberatan atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah pun secara aktif menyikapi tuntutan umat Islam tersebut, sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri) yang dikenal dengan "SKB 3 Menteri" tahun 1975 tentang "Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah".
Madrasah SKB Tiga Menteri
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975, Bab I Pasal I, menyebutkan : “Yang dimaksud dengan madrasah dalam Keputusan Bersama ini ialah : Lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum.”
Berdasarkan diktum di atas, baik Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 1950 maupun SKB Tiga Menteri 1975, dapat dipahami bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran pokok atau dasar di samping itu juga diajarkan mata pelajaran umum. Sistem dan isi madrasah diupayakan adanya penggabungan antara sistem pesantren dengan sekolah umum. Penyusunan Ensiklopedia Indonesia, pada pasal yang membicarakan madrasah, memandang madrasah sebagai perpaduan antara pendidikan sistem pondok yang khusus mengajarkan agama Islam dengan sistem pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum.
Sejak lahirnya sistemmadrasah di Indonesia, telah memiliki ciri khas yang membedakannya dari pesantren dan sekolah umum,yaitu upaya untuk mengonvergensikan antara mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama. Dalam usaha memadukan itu tidak dapat kesamaan antara satu madrasah satu dengan madrasah lainnya, seperti yang diungkapkan terdahulu.
Walaupun terdapat keanekaragaman dalam upaya menggabungkan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum, namun madrasah tetapsebagai lembaga pendidikan Islam yang menjadikan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok atau dasar. Pengertian mata pelajaran pokok atau dasar, adalah mata pelajaran yang menentukan dalam memberi penilaian terhadap status seorang siswa baik pada waktu penentuan naik kelas atau penentuan ujian akhir. Struktur program kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1984, pendidikan agama terdiri dari mata pelajaran :
a.     Alquran Hadis
b.    Akidah Akhlak
c.     Fikih
d.    Sejarah dan Peradaban Islam
e.     Bahasa Arab, semua mata pelajaran ini dianalogikan kepada program inti.
Makna dari program inti adalah jenis program yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan pendidikan pada Madrasah Aliyah, yakni mendidik siswa menjadi manusia pembangunan seutuhnya yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila, dan sekaligus merupakan perwujudan upaya untuk menempatkan siswa pada suasana kebersamaan. Program ini merupakan program pendidikan yang wajib diikuti oleh semua siswa dengan mengacu pada kepentingan pencapaian tujuan pendidikan nasional, kepentingan agama, tujuan masyarakat, serta penguasaan pengetahuan bagi semua siswa.
Ditijnjau dari segi historis dapat dilihat bahwa madrasah telah mengalami perubahan-perubahan. Pada tahap awal madrasah semata-mata mengajarkan mata pelajaran agama, kemudian sesuai dengan tuntutan zaman madrasah memasukkan mata pelajaran umum. Pada tahap ini mata pelajaran umum bagi kebanyakan madrasah hanya sebagai pelengkap saja. Perkembangan berikutnya denga keluarnya SKB Tiga Menteri tahun 1975, pada fase ini mata pelajaran umum pada madrasah lebih dominan sekitar 70%, walaupun demikian kedudukan mata pelajaran agama tetap memegang peranan yang amat penting seperti yang tertera dalam kurikulum Madrasah Aliyah  tahun 1984, menyatakan bahwa mata pelajaran agama dikelompokkan sebagai program ini.
Perubahan yang cukup drastis di lapangan pendidikan Islam adalah ketika diberlakukannya SKB Tiga Menteri tahun 1975. Inti dari perubahan itu adalah adanya pembaruan dan pemberdayaan madrasah.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri tersebut, maka madrasah memasuki era baru, yakni era kesetaraan dan kesederajatan antara madrasah dengan sekolah.Madrasah SKB Tiga Menteri adalah hasil kesepakatan tiga Departemen, yaitu Departemen DalamNegeri, Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hakikatnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di madrasah. Hasil dari peningkatan civil effect ijazah madrasah sama dengan ijazah sekolah umum, seperti tertera dalam Bab II Pasal 2 SKB Tiga Menteri yang telah dituliskan terdahulu. Hakikat SKB Tiga Menteri adalah :
1.    Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah lebih umum yang setingkat.
2.    Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat atas.
3.    Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Sebelum lahirnya SKB Tiga Menteri tahun 1975 kita melihat adanya perbedaan yang mendasar antara lulusan madrasah dengan sekolah umum. Perbedaan yang mendasar itu terlihat nyata sekali di dalam dua hal, yaitu :
 Pertama, di dalam kesempatan untuk melanjutkan studi. Dalam hal ini, lulusan madrasah tidak memiliki kesempatan untuk memasuki universitas negeri, mereka hanya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi agama seperti IAIN atau perguruan tinggi agama swasta. Setelah adanya SKB Tiga Menteri, maka lulusan madrasah telah memiliki kesempakatan untuk memasuki universitas umum negeri. Bagi yang memiliki ijazah Madrasah Aliyah yang tergabung dalam kelompok ilmu-ilmu Fisika dan ilmu-ilmu Biologi dapat melanjutkan ke Fakultas Kedokteran, Pertanian, Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti Alam, dan sebagainya. Sedangkan yang memiliki ijazah Madrasah Aliyah kelompok Studi ilmu-ilmu Sosial dan Pengetahuan Budaya dapat melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum, Filsafat, Bahasa, Sastra,Ilmu Ekonomi, Politik, dan sebagainya.
Kesempatan melanjutkan studi adalah salah satu bagian dan pemerataan pendidikan  Josep D. Farrell mengemukakan, bahwa di negara-negara berkembang satu problema yang dihadapi dalam pendidikan ini adalah pemerataan kesempakatan melanjutkan pendidikan. Banyak anak-anak di negara berkembang tidak bisa melanjtkan pendidikan ke lembaga yang lebih tinggi bahkan banyak pula yang drop out. (Josep, 1982 : 45-46).
Perbedaan kedua adalah dari segi kesempatan kerja. Sebelum lahirnya SKB Tiga Menteri kesempatan untuk menjadi pegawai negeri maupun swasta, bagi alumnus madrasah hanya terbatas dalamlingkungan Departemen Agama atau lembaga-lembaga keagamaan saja. Tetapi dengan SKB Tiga Menteri ini kesempatan itu lebih luas.
Dari sisi lain dapat juga dilihat bahwa SKB Tiga Menteri itu adalah upaya untuk menimbun jurang pemisah antara lulusan madrasah dengan sekolah umum. Upaya menimbun jurang itu amat diperlukan dalam rangka untuk menghilangkan dua pola pikir generasi Indonesia masa mendatang.Bila direnungkan lebih mendalam lagi, makapada hakikatnya madrasah SKB Tiga Menteri itu tiada lain adalah Sekolah Umum Plus. Pada tingkat Sekolah Dasar yaitu Ibtidaiyah, sama dengan SD Plus, di tingkat SLTP, yaitu Tsanawiyah sama dengan SMP Plus dan tingkat SLTA, yaitu Madrasah Aliyah sama dengan SMA Plus. Plusnya di sini adalah mata pelajaran agama dan bahasa Arab yang tidak mungkin mereka peroleh apabila mereka memasuki sekolah umum.
 Sebenarnya bila kita menukikkan pandangan lebih mendalam tentang konsep pendidikan dalam Islam baik yang bersumber dari ajaran dasar yakni Alquran maupun Hadis begitu juga praktik yang dilakukan oleh umat Islam tidak memisahkan antara ilmu diniah (agama) dengan ilmu umum. Bahkan dia bisaditeliti secara cermat Islam tidak mengenal pembagian ilmu tersebut dengan peristilahan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab apa yang kita sebut dengan ilmu umum misalnya, kelompok-kelompok ilmu-ilmu kealaman (Natural Science) dan kelompok-kelompok ilmu sosial (Sosial Science), adalah kelompok-kelompok ilmu yang dianjurkan bahkan ada yang sampai kepada tingkat wajib sekurang-kurangnya wajib kifayah untuk dipelajari.
 Keserasian SKB Tiga Menteri dengan konsep pendidikan Islam adalah dari segi pengembangan ilmu yang tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama saja akan tetapi mencakup berbagai ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi manusia untuk menjadi khalifah Allah di permukaan bumi. SKB Tiga Menteri ini berusaha untuk menghilangkan dikotomi yang terasa selama ini. Sehingga dengan demikian diharapkan akan tumbuh pandangan yang utuh terhadap ajaran Islam. Dari segi teknis operasional SKB Tiga Menteri ini bukanlah tanpa problem. Ada sejumlah problema-problema mendasar ditinjau dari pelaksanaan yang apabila tidak diatasi akan membuahkan hasil yang memuaskan. Problema-problema tersebut meliputi : tenaga pengajar, sarana dan fasilitas, waktu/jam pelajaran dan dana.
 Dikotomi ilmu dalam studi Islam terkait erat dengan pembagian kelompok ilmu Islam dalam pengertian ilmu agama yang dilawankan dengan kelompok ilmu non-Islam atau ilmu umum ini berimbas pada kemunculan dikotomi kelembagaan dalam pendidikan Islam. Akibatnya, muncul pula istilah sekolah-sekolah agama dan sekolah-sekolah umum. Sekolah agama berbasis ilmu-ilmu “Agama” dan sekolah umum berbasis ilmu-ilmu “Umum”.
 Kemunculan dikotomi sekolah umum pada satu sisi dan sekolah madrasah yang merupakan perwakilan sekolah agama pada sisi lain merupakan wujud konkret dikotomi dalam pendidikan Islam. Kondisi ini lebih parah dengan dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975 yang telah mepersamakan kedudukan sekolah umum dengan madrasah yang statusnya masih sebagai sekolah agama.
 Pengintegrasian ini menimbulkan kesalahpahaman dalam dunia pendidikan. Pendidikan Islam yang bersifat umum disamakan dengan pendidikan agama Islam dalam arti khusus. Akibatnya, penunggalan dalam “Pendidikan Islam” makin rancu pada penggunaan istilah bagi semua jenis, jenjang, model, dan bidang studi. Pendidikan Islam yang lebih tepat bagi sebutan institusi yang mandiri sering dipakai bergantian pendidikan agama Islam sebagai bagian dari sebuah institusi. Pendidikan agama Islam yang lebih tepat bagi sekolah umumdisebut pula dengan pendidikan Islam, atau sebaliknya, tanpa penjelasan konseptual. Sekolah Islam, madrasah, dan pesantren yang tepat disebut pendidikan Islam acap disebut pendidikan agama Islam, atau sebaliknya. Di sekolah ini pun masih terdapat pembelajaran pendidikan agama Islam.
 Perubahan yang cukup drastis di lapangan pendidikan Islam adalah ketika diberlakukannya SKB Tiga Menteri (Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri) – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri dalam Negeri tahun 1975. Inti dari perubahan itu adalah adanya pembaharuan dan pemberdayaan madrasah. Diadakanlah perubahan yang drastis dalamkurikulum madrasah SKB Tiga Menteri, yakni 70 % pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama. Dengan diberlakukannya kurikulum yang seperti itu maka madrasah disetarakan dengan sekolah umum. Madrasah Ibtidaiyah setara dengan SD, Madrasah Tsanawiyah setara dengan SMP, dan Madrasah Aliyah setara dengan SMA.
 Selanjutnya dengan diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka madrsah secara eksplisit dinyatakan sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Pemaknaannya adalah di madrasah diprogramkan seluruh apa yang diprogramkan di sekolah umum dan ditambah dengan mata pelajaran agama dan suasana keberagamaan. Dengan demikian pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak tahun 1975 dan diperkuat lagi sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 serta PP No. 28 dan 29 tahun 1990 serta UU No. 20 tahun 2003 adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu agaman dan umum.
 Pada tanggal 18 April tahun 1972, presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya.  Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional.
Kritis identitas ini dimulai dengan ditetapkannya Program Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada permulaan tahun enam puluhan,  kemudian dilanjutnya dengan lahirnya MTsAIN dan MAAIN akhir tahun enam puluhan. Selanjutnya pada tanggal 24 Maret 1975 terjadi perubahan yang mendasar. Melalui SKB Tiga Menteri dan kebijakan-kebijakan yang menyertainya sekarang sekolah-sekolah agam yang melaksanakan kurikulum Kementerian Agama diperlakukan sama seperti sekolah-sekolah umum pada jajaran yang sama. Mereka juga bisa saling pindah dan saling lanjut.
Dikala baru terbitnya SKB Tiga Menteri tersebut pernah tercatat adanya reaksi masyarakat yang menganggap sebagai “pendangkalan agama” di madrasah, tetapi kemudian suara tersebut tenggelam ditelan masa, dan akhirnya yang terjadi reaksi positif. Berdasarkan evaluasi Departemen Agama RI tahun 1979 ternyata SKB Tiga Menteri ini pada umumnya disambut dengan positif oleh para ahli pendidikan, guru-guru, ulama dan masyarakat pada umumnya. Evaluasi sementara madrasah yang mengikuti jiwa SKB ini hasilnya cukup menggembirakan. Di beberapa daerah siswa lulusan Ibtidaiyah telah dapat diterima di SMP Negeri, siswa lulusan Tsanawiyahditerima di SLANegeri dan lulusan Aliyah diterima di berbagai  Fakultas seperti keguruan, hukum, sosial ekonomi, sastra dan sebagainya, kecuali fakultas eksakta.
 Nampaknya pemerintah belum puas dengan SKB 3 Menteri ini. Intervensi pemerintah terhadap pesantren dan madrasah sifatnya murni edukatif dan kultural,di mana dengan adanya dikotomi pendidikan dengan dua corak sistem yang berbeda itu dianggap tidak efisien dan efektif. Yang terjadi adalah tumpang tindih duplikasi pemborosan energi dan biaya. Pendidikan Islam harus berada di bawah naungan Pendidikan Nasional.
Implikasi SKB Tiga Menteri
1.      Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa siswi madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang pengelolaanya dibawah naungan Kementerian Agama. Dan secara tidak langsung hal ini telah memperkuat dan memperkokoh posisi Kemenag dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
2.      Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah. Efeknya adalah bertambahnya beban yangharus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah, dilain pihak bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
3.      Aspek Siswa
Dalam SKB Tiga Menteri ditetapkan bahwa: 1) ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat dan 2) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum.
4.      Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud real dari partisipasi masyarakat yang peduli pada nasib pendidikan anak bangsanya. Tren pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khittah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat, maka hanya tinggal satu tahap yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.

B.       Kelebihan dan Kekurangannya terhadap Madrasah
1.         Dampak Positif
a.     Lulusan/tamatan SD bisa meneruskan ke MTS dan lulusan/tamatan MI bisa meneruskan ke SMP.
b.    Lulusan/tamatan MTs bisa meneruskan ke SMA/SMK dan meneruskan sekolah SMP bisa bisa meneruskan ke MA.
c.    Tamatan MA bisa bisa meneruskan ke Universitas Umum dan tamatan SMA/SMK bisa bisa meneruskan ke IAIN/STAIN.
d.   Dari SD bisa pindah sekolah ke MI dan sebaliknya. Dari MTs bisa pindah sekolah ke SMP dan sebaliknya. Dari SMA/SMK bisa pindah sekolah ke MA dan bisa melamar ke Instansi Pemerintah baik DEPAG maupun Instansi Umum lainnya.
2.      Dampak Negatif
a.      Kurangnya motivasi dari Madrasah dan Pesantren mendalami pendidikan agama, karena biasanya sudah dipengaruhi oleh bidang studi yang di Ujian Nasional-kan.
b.      IAIN sudah sedikit waktu untuk mendapatkan input penguasaan kitab kuning.
c.       Belum semua Madrasah memiliki gedung/lokal sendiri (masih menumpang) Belum semua Madrasah memiliki guru bidang studi (umum).
d.      Guru madrasah masih sangat kurang dibandingkan sekolah umum (30% dari kebutuhan yang sebenarnya.


Syukur.

Dulu seseorang pernah bercerita kepadaku, padahal ia jauh lebih dewasa pikirku. Umurnya, pengalamannya jauh lebih banyak ia dibanding aku. I...